Di dunia game, sebuah drama baru mencuat. Ubisoft, raksasa industri game asal Prancis, kembali menjadi sorotan setelah tanggapannya dalam gugatan hukum terkait penutupan game The Crew. Kontroversi ini bukan sekadar soal server yang dimatikan, melainkan pertanyaan mendasar: apakah gamer benar-benar memiliki game yang mereka beli?
The Crew, game balap yang dirilis pada September 2014, resmi ditutup pada Maret 2024. Tak hanya servernya yang dimatikan, Ubisoft juga mencabut lisensi digital para pemain. Akibatnya, game ini tak lagi bisa di-download, bahkan oleh mereka yang telah membelinya.
Kemarahan komunitas pun meledak. Banyak yang menyebut langkah ini sebagai serangan terhadap pelestarian video game, terutama setelah ditemukan kode dalam game yang mengindikasikan adanya mode offline yang tak pernah dirilis.
Dalam dokumen hukum terbaru, Ubisoft menyatakan bahwa pembeli The Crew—baik versi digital maupun fisik—tidak benar-benar memiliki game tersebut. Menurut mereka, yang dibeli hanyalah lisensi untuk mengakses game, bukan kepemilikan penuh. Pernyataan ini tertuang jelas dalam tanggapan hukum mereka: konsumen telah diberi tahu sejak awal bahwa mereka hanya membeli lisensi, bukan hak kepemilikan tanpa batas.
Sengketa ini melibatkan Ubisoft dan sekelompok pemain yang menggugat perusahaan tersebut, di mana para penggugat merasa ditipu karena percaya bahwa mereka membeli akses permanen ke The Crew, terutama mereka yang memiliki salinan fisik. Salah satu poin menarik dari gugatan ini adalah bukti yang diajukan penggugat pada Maret lalu. Mereka menunjukkan salinan fisik The Crew dengan kode aktivasi yang disebutkan berlaku hingga 2099. Jika benar, ini melemahkan argumen Ubisoft bahwa batas waktu klaim telah lewat.
Tak hanya itu, penggugat juga menyinggung pelanggaran hukum gift card di California. Dalam The Crew, pemain bisa membeli Crew Credits untuk item dalam game. Dengan menutup game, Ubisoft dianggap telah membatalkan nilai kredit tersebut secara paksa, yang berpotensi melanggar aturan bahwa gift card tidak boleh kedaluwarsa.
Kontroversi ini menyoroti isu yang lebih besar dalam industri game: kepemilikan digital. Selama bertahun-tahun, gamer diperingatkan bahwa mereka tidak benar-benar memiliki game digital, melainkan hanya lisensi yang bisa dicabut kapan saja. Namun, pernyataan Ubisoft bahwa salinan fisik pun hanya lisensi mengejutkan banyak pihak. Ini berarti, entah Anda memegang disc game atau mengunduhnya, Anda tetap tidak memiliki kendali penuh.
Bagi komunitas gamer, ini terasa seperti pengkhianatan. Bayangkan menghabiskan uang untuk sesuatu yang Anda pikir milik Anda, hanya untuk mengetahui bahwa itu bisa lenyap begitu saja. Apalagi, The Crew bukan kasus pertama dan banyak game bergantung pada server online, dan ketika server mati, game pun ikut hilang. Ini memicu kekhawatiran tentang pelestarian budaya game untuk generasi mendatang.
Isu ini mulai mencuat ketika The Crew ditutup awal tahun ini, tetapi akar masalahnya telah ada selama bertahun-tahun. Industri game telah beralih ke model “game sebagai layanan”, di mana akses bergantung pada infrastruktur online. Ketika Ubisoft menegaskan posisinya dalam gugatan ini, mereka seolah mengukuhkan pandangan bahwa gamer hanya menyewa pengalaman, bukan membelinya.
Reaksi di media sosial dan forum game sangat keras. Banyak gamer merasa kepercayaan mereka pada Ubisoft telah runtuh. Beberapa bahkan menyatakan akan berpikir dua kali sebelum membeli game dari perusahaan ini lagi. Di sisi lain, ada pula yang berpendapat bahwa gamer harus lebih aware dengan syarat dan ketentuan yang mereka setujui saat membeli game.
Gugatan ini masih berlangsung, dan hasilnya bisa menjadi preseden penting bagi industri game. Jika penggugat menang, perusahaan seperti Ubisoft mungkin dipaksa untuk lebih transparan tentang hak konsumen. Namun, jika Ubisoft menang, ini bisa memperkuat pandangan bahwa kepemilikan game hanyalah ilusi.
Bagi gamer, pelajaran dari kasus ini jelas: waspadalah dengan apa yang Anda beli. Entah itu cakram mengilap atau file digital, apa yang Anda anggap milik Anda mungkin hanya pinjaman sementara. Industri game terus berubah, dan kasus seperti ini mengingatkan kita untuk tetap kritis terhadap aturan mainnya.
Sumber: WindowsCentral